ARS's Info.

(Information: Tourism, Family, Lifestyle, Entertainment, Healt, etc.)

Indo Belanda di Batavia.

Kehidupan Indo Belanda di Batavia

Istilah Belanda Indo kini jarang terdengar lagi. Keturunan campuran ibu Indonesia dan ayah Belanda dulu banyak terdapat di Indonesia, khususnya Jakarta. Mereka kembali ke Belanda setelah pada tahun 1957 hubungan diplomatik kedua negara putus akibat sengketa Irian Barat (kini Papua).
Yang terkenal adalah Indo-Kemayoran. Di tempat ini mereka memiliki perkumpulan keroncong hingga dikenal nama Keroncong Kemayoran. Di kawasan Menteng meski sampai tahun 1950-an kebanyakan penduduknya para bule (Belanda totok), terdapat juga para Indo. Berhadapan dengan Kwitang, Jakarta Pusat, terdapat Jalan Kwini. Kampung yang diapit dengan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat dan Batalion X banyak tinggal Indo Belanda. Gadis Indo cantik-cantik lebih cantik dari gadis Belanda totok. Kalau sore hari mereka bermain voli di lapangan depan Gunung Agung. 
Sedang pemudanya bermain sepak bola. Orang Belanda dan Indo mempunyai perkumpulan sepakbola: VIOS, Hercules, dan BVC (Bataviasche Votbaal Club. Ketiganya memiliki lapangan sepak bola sendiri. VIOS di Menteng yang kemudian menjadi Lapangan Persija dan kini menjadi Taman Kota Menteng. Sedang Hercules dan BVC memiliki lapangan sendiri di Ikada (Monas). Kala itu, di Ikada terdapat banyak lapangan sepak bola. Di Lapangan Banteng juga terdapat beberapa lapangan sepak bola. Di lapangan ini juga terdapat lapangan bola keranjang yang kini bernama basket.
Para wanita Indo yang badannya tinggi-tinggi senang bermain bola keranjang. Bila mereka main penontonnya banyak terutama anak muda. Untuk cuci mata, kata mereka. Maklum, paha mereka mulus-mulus. Warga Indo gemar pesta yang selalu dimeriahkan dansa-dansi. Tapi, mereka tidak berani mengadakannya di kampung-kampung. Bisa ditimpukin warga Betawi ysng umumnys tidak menyenangi kebiasaan Barat ini. Mereka mengadakannya di rumah-rumah di jalan-jalan besar.
Tidak ketinggalan tiap pesta disertai minuman keras (alkohol) seperti bir dan wiski. Wiski yang terkenal ketika itu bernama Jenewer yang bersama cognac diimpor dari Paris. Sedangkan champagne hanya minuman di kalangan kaum petinggi untuk bersulang saat-saat pesta besar. Minuman ringan yang banyak disuguhkan ketika itu adalah limonade dan zuurzak (sirsak) sejenis minuman dari buah sirsak. Air belanded juga merupakan terkenal ketika itu.

Piyama dan kebaya

Sebelum Perang Dunia II di rumah-rumah di tepi jalan banyak tinggal para Indo. Mereka mendiami rumah-rumah besar dan memiliki para pembantu terdiri dari tukang kebun, babu dalam yang tinggal di rumah majikan dan babu pulang hari. Terdapat paviliun di rumah besar. Pada abad ke-18 dan 19 ketika Belanda dari negaranya datang ke Nusantara tanpa disertai istri, mereka umumnya hidup bersama nyai (gundik) yang tidak memiliki hak apa pun.
Dari mereka inilah lahir para Indo Belanda. Bagi sebuah keluarga Indis, tidak dapat dibayangkan hidup tanpa kehadiran para pembantunya. Tidak hanya orang kaya raya, bahkan keluarga yang kurang mampu memiliki pembantu. Para pembantu ini kebanyakan orang Jawa. Hubungannya dengan nyonya rumah yang mereka panggil mevrouw (nyonya) sangat dekat. Termasuk mendampingi sang majikan ke pasar di pagi hari dengan menenteng tas belanjaan.
Sementara anak-anak pergi ke sekolah dengan naik delman atau sepeda. Para orang tua baru pulang dari kantor pukul empat sore. Sekitar pukul 12 siang dibawakan rantang berisi makanan dari rumah terdiri dari nasi, sayur, ikan dan kerupuk. Sementara seluruh keluarga pergi, nyonya rumah menggunakan kimono memetik bunga-bunga di taman pekarangan. Anak-anak pulang sekolah pukul satu siang. Setelah melepaskan sepatu, mandi dan memakai baju yang bagus, kemudian duduk rapi menyantap sepiring nasi dengan sambal goreng tempe dan tidak ketinggalan sayur lodeh yang merupakan makanan kegemaran para Indo.
Pakaian rumah tentu saja berbeda dengan pakaian bila mereka bepergian. Setiap saat, sering pula disebut sarung kebaya, sarung batik dan kebaya putih menjadi norma bagi perempuan Indo Belanda. Pakaian yang hampir bersamaan dengan busana pribumi. Di dalam rumah pria memakai piyama dan perempuan mengenakan pakaian sejuk kimono atau jas rumah (hoskut).
Pakaian rumah dapat pula dikenakan selama sarapan dan waktu minum kopi di beranda depan. Pada sore hari para keluarga berkumpul untuk minum teh. Para tamu yang datang akan menikmati kue talam, lemper, bubur sumsum, kue lapis atau onde-onde yang sejak pagi telah disiapkan oleh kokie (kepala dapur).

Jelang malam

Pada senja jelang malam, para keluarga Indo suka berbelanja di Noordwijk (Jl Juanda) dan Risjwijk (Jl Veteran), yang ketika itu merupakan daerah pertokoan paling elite di Batavia. Di sini dijual pakaian-pakaian wanita impor dari Paris, London, dan kota-kota besar Eropa lainnya. Mereka kemudian bersantai minum di kedai kopi mewah yang banyak terdapat di tempat itu. Membeli makanan-makanan asli Belanda seperti roti, rokok, cerutu, ikan salmon, atau ikan hering.
Biasanya kemudian mampir ke Citadelweg (kini Jl Veteran I) dekat Masjid Istiqlal yang ketika itu bernama Wilhelmina Park. Di sini mereka menikmati es krim yang sampai sekarang tokonya tetap buka. Saat santai di akhir pekan, mereka menonton film di bioskop Capitol (terletak di depan Masjid Istiqlal) yang saat itu memutar film Gone With the Wind yang dibintangi oleh Clark Cable dan Janes Leigh. Sementara keesokan harinya (Ahad), para pemudanya berenang di kolam renang Cikini atau Manggarai (kini jadi Pertokoan Sarinah). Kenikmatan ini berakhir setelah masa pendudukan Jepang (1941-1945).

Sumber: Republika

18 Mei 2010 - Posted by | Nostalgia Jakarta |

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar